Self Efficacy Dalam Kepemimpinan Hubungannya Dengan “Leadership Coaching”
Oleh.
Yuli Susilowati, S.Psi, MM
Widyaiswara Muda
Bandura adalah tokoh yang memperkenalkan istilah efikasi diri (self efficacy). Ia mendefenisikan efikasi diri adalah keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melakukan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Sementara itu, Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan, dan mengatasi hambatan. Bandura dan Woods menjelaskan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.
Meskipun Bandura menganggap bahwa efikasi diri terjadi pada suatu kemampuan fenomena situasi khusus, para peneliti yang lain telah membedakan efikasi diri khusus dari efikasi diri secara umum atau generalized self-efficacy. Efikasi diri secara umum menggambarkan suatu penilaian dari seberapa baik seseorang dapat melakukan suatu perbuatan pada situasi yang beraneka ragam.
Efikasi diri secara umum berhubungan dengan dengan harga diri atau self-esteem karena keduanya merupakan aspek dari penilaian dari yang berkaitan dengan kesuksesan atau kegagalan seseorang sebagai seorang manusia. Meskipun demikian, keduanya juga memiliki perbedaan, yaitu efikasi diri tidak mempunyai komponen penghargaan diri seperti self-esteem. Harga diri (self-esteem) mungkin suatu sifat yang menyemarakkan; efikasi diri selalu situasi khusus dan hal ini mendahului aksi dengan segera. Sebagai contoh, sesorang bisa memiliki efikasi diri secara umum yang tinggi, dia mungkin menganggap dirinya sanggup dalam banyak situasi. Namun, memiliki harga diri yang rendah karena dia percaya bahwa dia tidak memiliki nilai pokok pada hal yang dikuasai.
Bandura (1997) mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil proses kognitif berupa keputusan, keyakinan, atau penghargaan tentang sejauh mana individu memperkirakan kemampuan dirinya dalam melaksanakan tugas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Menurut dia, efikasi diri tidak berkaitann dengan kecakapan yang dimiliki, tapi berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal apa yang dapat dilakukan dengan kecakapan yang ia miliki seberapa pun besarnya. Efikasi diri menekankan pada komponen keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi yang akan datang yang mengandung kekaburan, tidak dapat diramalkan, dan sering penuh dengan tekanan. Meskipun efikasi diri memiliki suatu pengaruh sebab-musabab yang besar pada tindakan kita, efikasi diri berkombinasi dengan lingkungan, perilaku sebelumnya, dan variabel-variabel personal lainnya, terutama harapan terhadap hasil untuk menghasilkan perilaku. Efikasi diri akan mempengaruhi beberapa aspek dari kognisi dan perilaku seseorang. Gist dan Mitchell mengatakan bahwa efikasi diri dapat membawa pada perilaku yang berbeda diantara individu dengan kemampuan yang sama karena efikasi diri mempengaruhi pilihan, tujuan, pengatasan masalah, dan kegigihan dalam berusaha (Judge dan Erez, 2001).
Seseorang dengan efikasi diri percaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segala sesuatu yang ada disekitarnya. Dalam situasi yang sulit, orang dengan efikasi yang rendah cenderung mudah menyerah. Sementara dengan orang dengan efikasi diri yang tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengatasi tantangan yang ada. Hal senada juga di ungkapkan oleh Gist, yang menunjukkan bukti bahwa perasaan efikasi diri memainkan satu peran penting dalam memotivasi pekerja untuk menyelesaikan pekerjaan yang menantang dalam kaitannya dengan pencapaian tujuan tertentu.
Dalam kehidupan sehari-hari, efikasi diri memimpin kita untuk menentukan cita-cita yang menantang dan tetap bertahan dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Lebih dari seratus penelitian memperlihatkan bahwa efikasi diri meramalkan produktivitas pekerja. Ketika masalah-masalah muncul, perasaan efikasi diri yang kuat mendorong para pekerja untuk tetap tenang dan mencari solusi daripada merenung ketidakmampuannya. Usaha dan kegigihan menghasilkan prestasi.
Judge dkk, menganggap bahwa efikasi diri ini adalah indikator positif dari core self-evaluation untuk melakukan evaluasi diri yang berguna untuk memahami diri (Judge dan Bono, 2001). Efikasi diri merupakan salah satu aspek pengetahuan tentang diri atau sel-knowledge yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia sehari-hari karena efikasi diri yang dimiliki ikut mempengaruhi individu dalam menentukan tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai suatu tujuan, termasuk di dalamnya perkiraan terhadap tantangan yang akan dihadapi.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri secara umum adalah keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dalam mengatasi beraneka ragam situasi yang muncul dalam hidupnya. Efikasi diri tidak berkaitan dengan kecakapan yang ia miliki seberapa aspek dari kognisi dan perilaku seseorang. Oleh karena itu, perilaku satu individu akan berbeda dengan individu yang lain.
Dalam hubungannya self efficacy dengan potensi kepemimpinan seseorang, menurut Heifetz dan Linsky (2013), Pemimpin memainkan peran yang sangat vital dalam membantu organisasi menghadapi situasi sulit dan menantang yang dihadapi organisasi. Pemimpin menyediakan kestabilan menejemen yang menginspirasi team untuk mencapai tujuan organisasi (Robin dan Judge,2013). Jonathan Passmor (2011) mengatakan bahwa ketika organisasi mengembangkan kapasitas kepemimpinannya maka organisasi sedang memastikan kinerja organisasi dapat terus tumbuh secara berkelanjutan.
Namun, dibeberapa perusahaan yang saya temui, pengembangan kapasitas kepemimpinan di level senior manager ke atas, program pengembangan kapasitas pemimpin ini bahkan sudah tidak ada lagi. Alasannya sebelumnya mereka sudah banyak sekali mengikuti pelatihan tentang kepemimpinan, jadi tidak perlu lagi. Ada benarnya memang, tapi pengembangan kapasitas kepemimpinan tidak melulu bicara soal pelatihan. Ada juga leadership coaching disana. Di level senior manager ke atas yang dibutuhkan adalah Leadership coaching dimana pemimpin dapat terus meningkatkan kapasitas kepemimpinannya yang banyak dibantu oleh coach yang mendampingi. Karena memang di level ini penguasaan kepemimpinan sudah bukan lagi ada di level analisis lagi, namun perlu sudah sampai tahap evaluasi dan menciptakan gaya kepemimpinan uniknya sendiri. Seorang leadership coach tahu bagaimana membantu pemimpin mengevaluasi efektifitas gaya kepemimpinnya dan menciptakan gaya kepemimpinan yang unik.
Menurut Baron dan Morin (2011) Leadership coaching adalah hubungan kemitraan satu per satu yang fokus pada penguatan self efficacy dan kinerja individu yang berdampak pada peningkatan efektifitas organisasi. Tujuan dari leadership coaching adalah penguatan self efficacy atau keyakinan akan kemampuan dan kapasitas diri dalam melakukan sebuah tugas atau mencapai tujuan.
Ketika seorang pemimpin sudah memiliki self efficacy yang kuat hal ini akan tercermin dalam perilakunya sehari hari. Pemimpin yang memiliki self efficacy tinggi tahu bagaimana menghadapi situasi sulit, pemimpin ini dapat tetap tenang ketika dalam situasi yang tinggi atau bagaimana menghadapi situasi yang tidak menguntungkan. Ketenangan ini menular kepada bawahannya, sehingga bawahannya menjadi lebih yakin bahwa mereka dapat keluar dari kesulitan dan memecahkan masalah. Seperti kita ketahui keyakinan ini berperan sangat signifikan dalam perilaku.
Pemimpin yang memiliki self efficacy yang kuat tahu bagaimana cara mencapai tujuan dengan memaksimalkan kapasitas dan kemampuan diri. Pemimpin yang memiliki self efficacy yang tinggi adalah kepemimpinan yang optimis. Keyakinan untuk mencapai tujuan dapat menggerakkan bawahannya untuk juga memaksimalkan kapasitasnya untuk mencapai tujuan bersama. Ketika hal ini terjadi tidaklah mengherankan jika organisasi menjadi lebih efektif dan lebih produktif.
Jika organisasi menginginkan tumbuh dan mampu mengatasi tantangan bisnis yang semakin berat, Pimpinan perlu memastikan pemimpin yang ada didalamnya terus mengembangkan kapasitas kepemimpinanya. Dan pemimpin yang ingin terus menjadi pemimpin maka ia perlu selalu belajar dan mengembangkan kapasitas kepemimpinannya, jangan cepat berpuas diri dan merasa cukup sehingga dengan pongah berkata ”ah saya sudah ikut macam-macam pelatihan, sudah puaslah..” Seorang pemimpin berhenti menjadi pemimpin ketika ia berhenti belajar.
Pemimpin yang berhasil dan sukses adalah pemimpin yang menjadi ”Pembelajar Sejati“ mereka tidak puas dengan kepemimpinanya dan terus mengevaluasi diri, sehingga menemukan gaya kepemimpinan unik mereka sendiri dalam memimpin. Sebagian besar diantara mereka punya coach atau mentor pribadi dalam kepemimpinannya yang membantu mereka untuk mengevaluasi diri mereka dalam memimpin. Seperti kita ketahui diposisi teratas pimpinan organisasi semakin kesepian karena sudah tidak ada lagi orang yang mau dan mampu memfasilitasi mereka melakukan evaluasi kepemimpinan mereka.
Daftar Pustaka
Brown dan Inouge dalam A. Bandura, Self-Efficacy: The Exercise of Control, (New York: W.H.Freeman and Company,1997)
Chen dan Gully; Gist; Gist dan Mitchel dalam R.Hogan, & B.W Robbert,Personality Psychology: in the Workplace, (Washington DC: American Psychology Association, 2001)
J. Feist, dan G.J Feist, “theories of Personality”, Fourth Edition, (Boston:Mcgraw-Hill Companies Inc., 1998)
N.W Wulandari, “ Hubungan Antara Efikasi Diri dan Dukungan Sosial dengan Kepuasan Kerja”, Skripsi, (Tidak diterbitkan), (Jogjakarta: Fakultas Psikologi UGM, 2000)