Budaya Kerja
Oleh.
dr. Fathonah Suhari, MKM
Widyaiswara Madya
Terlepas dari dua pandangan berbeda di atas, yang pasti budaya kerja PNS tetap harus ditingkatkan. Tapi perbaikan budaya kerja tidak akan berhasil bila tidak diciptakan sistem yang mampu mengembangkan profesionalisme dan lingkungan yang kondusif dalam rangka mendukung pencapaian tugas.
Paling tidak ada lima syarat yang harus dipenuhi dalam rangka meningkatkan budaya kerja PNS, yaitu:
- Terdapat nilai yang mendukung pencapaian visi.
- Motivasi yang mampu memacu kerja seorang pegawai.
- Hadirnya ide dan strategi yang tepat.
- Tersedianya tujuan bersama yang jelas.
- Etika kerja yang ditumbuhkan melalui sistem meritokrasi, remunerasi, dan lain sebagainya.
Berbagai pihak meyakini bahwa nilai-lah yang dapat menggerakkan etos seseorang. Dengannya seseorang dapat menjadi gigih, sungguh-sungguh dalam bekerja, memiliki komitmen yang tinggi, dan lain sebagainya. Banyak contoh dapat disebut disini untuk menunjukkan bahwa nilai sangat berpengaruh bagi seseorang dalam bekerja maupun berusaha.
Keberhasilan Indonesia saat merdeka dari kolonialisme adalah karena bermula dari keyakinan terhadap kebenaran suatu nilai yang diperjuangkannya. Mengapa nilai begitu berpengaruh? Penyebabnya tidak lain adalah karena pada dasarnya hampir tidak ada seorang pun yang tidak memiliki suatu makna hidup. Pekerjaannya sekarang adalah menginternalisasikan suatu nilai terhadap segenap aparatur secara sistematis. Disinilah diperlukan pemikiran cerdas, cermat serta pragmatis konsepsional dalam rangka transformasi nilai dalam upaya membangun budaya kerja yang progresif.
Tanpa adanya motivasi, bekerja menjadi hampa. Efek negatifnya bekerja menjadi lambat selesai, sering meleset dari target waktu yang telah ditentukan dan tidak efektif. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana motivasi itu tumbuh. Orang bijak mengatakan bahwa motivasi itu ada dalam diri seseorang jika kepentingan seseorang tersebut ada didalamnya. Untuk itu, dibutuhkan kerja cerdas bagaimana mengemas kepentingan-kepentingan setiap individu secara apik tanpa mengorbankan kepentingan lain yang lebih besar. Disinilah dibutuhkan kearifan membuat kebijakan dan menyusun program kerja sebagai acuan dalam pelaksanaan kegiatan organisasi yang mudah dimengerti, dipahami, dan dilaksanakan oleh setiap orang dalam organisasi tersebut.
Ide adalah gagasan tentang sesuatu hal. Sedangkan strategi adalah cara pencapaian berdasarkan pertimbangan-pertimbangan obyektif (sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain sebagainya). Dalam hal ide dan strategi ini, satu hal yang mesti dimiliki oleh pegawai negeri adalah adanya jiwa wirausaha atau entrepreneur, yaitu kemampuan menggunakan sumber daya dengan cara baru untuk memaksimalkan produktivitas dan efektivitas (David Osborne: 2000; 18). Dengan modal ini para pegawai akan senantiasa mampu membaca peluang secara positif untuk menggerakkan segenap kemampuannya dalam rangka pencapaian misi organisasi.
Tujuan bersama adalah keharusan bila suatu organisasi ingin berhasil. Suatu hal mustahil sebuah misi akan tercapai kalau orang-orang yang ada didalamnya memiliki tujuan yang berbeda. Guna mencapai pada sesuatu yang dicita-citakan bersama, maka harus ada kesamaan persepsi dan juga kesamaan tujuan. Dengan kesamaan ini, maka seluruh energi akan tercurah pada satu titik yang menjadi cita-cita bersama tersebut. Disinilah sebenarnya dibutuhkan komunikasi intensif, keterbukaan, dan kebersamaan.
Dalam rangka memantapkan etika kinerja, hal mendasar yang perlu ditegaskan adalah soal job description. Masing-masing pegawai harus memahami secara baik apa saja yang menjadi tugas pekerjaannya. Jangan sampai seorang pegawai menjadi sangat sibuk tetapi tidak mengerjakan pekerjaan pokoknya. Disinilah tugas seorang atasan senantiasa memberikan arahan-arahan pegawai yang menyangkut tugas pokok dan fungsi pegawai yang bersangkutan. Hal lain yang harus ditegaskan juga kaitannya dengan masalah etika kerja ini adalah soal reward and punishment. Untuk menjalankan reward and punishment ini perlu dibarengi dengan kejelasan pola karier jabatan, penempatan berdasarkan keahlian, remunerasi dan meritokrasi.
Perubahan besar sistem sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain telah mendorong masyarakat luas menjadi semakin kritis dan paham terhadap hak-haknya. Bersamaan dengan itu, maka mau tidak mau PNS harus mampu mengimbangi kecerdasan dan kepekaan masyarakat yang berkembang pesat. Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan paradigma baru.
PNS dan juga pejabat negara adalah abdi dan pelayan masyarakat. Tugasnya adalah memberikan pelayanan secara menyenangkan kepada masyarakat tentang apa saja yang menjadi kepentingan-kepentingannya. Persoalannya sekarang adalah masih ada sebagian pihak yang sering memanjakan aparatur negara dengan cara memberikan fasilitas-fasilitas lebih sehingga memaksa aparatur negara kembali berparadigma lama.
Sekarang ini hasrat pegawai untuk menyenangkan masyarakat sudah tumbuh menggembirakan. Diberbagai daerah sudah digalakkan tentang bagaimana (misalnya) memberikan pelayanan secara cepat, tepat, dan murah. Sebut saja sebagai contoh adalah merebaknya penerapan model pelayanan satu pintu, dimana masyarakat cukup datang ke satu kantor mulai dari soal pendaftaran sampai urusan seleksi.
Berikutnya, sejak awal diangkat setiap pegawai telah diambil sumpahnya untuk menjalankan amanah jabatan itu. Namun, lagi-lagi amanah itu ternodai karena berbagai hal. Untuk itu, perlu diciptakan sistem yang mampu mengawal sumpah sehingga dapat dilaksanakan secara konsisten. Banyak faktor yang menyebabkan amanah kurang dapat diaplikasikan secara maksimal. Bisa jadi itu disebabkan oleh pibadinya yang bermasalah, atau bisa juga disebabkan oleh sistemnya yang tidak mendukung, dan tidak menutup kemungkinan disebabkan oleh keduanya; yaitu pribadinya bermasalah dan sistemnya tidak benar. Untuk itu diperlukan upaya terus menerus untuk membenahi pribadi-pribadi bermasalah dan sistem yang salah.
Dari paradigma di atas perlu dirasakan getarannya oleh masyarakat, sehingga tidak hanya menjadi untaian kata-kata indah. Caranya, segenap aparatur negara harus terus bekerja dan berkarya membuktikan bahwa dirinya adalah pelayan masyarakat yang baik.
Budaya kerja Pegawai Negeri Sipil (PNS) masih dipandang oleh sebelah mata; lambat, birokratis, malas, dan biaya tinggi. Namun di satu pihak yang lain berpandangan sebaliknya, yakni bahwa budaya kerja PNS sudah berangsur membaik, ditandai dengan membaiknya pelayanan kepada masyarakat.
Terlepas dari dua pandangan berbeda di atas, yang pasti budaya kerja PNS harus ditingkatkan. Tujuannya adalah untuk menciptakan sistem yang mampu mengembangkan profesionalisme dan lingkungan yang kondusif dalam rangka mendukung pencapaian tugas.
Dari paradigma di atas perlu dirasakan getarannya oleh masyarakat, sehingga tidak hanya menjadi untaian kata-kata indah. Caranya, segenap aparatur negara harus terus bekerja dan berkarya membuktikan bahwa dirinya adalah pelayan masyarakat yang baik.
Idealnya tiap perusahaan memiliki budaya kerja, yaitu suatu sistem nilai yang merupakan kesepakatan kolektif dari semua yang terlibat dalam perusahaan. Pengertian kesepakatan disini adalah dalam hal cara pandang tentang bekerja dan unsur-unsurnya. Suatu sistem nilai merupakan konsepsi nilai yang hidup dalam alam pemikiran sekelompok manusia/ individu karyawan dan manajemen. Dalam hal ini budaya kerja berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya. Lalu persepsi itu melahirkan makna dan pandangan hidup yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku karyawan dan manajemen dalam bekerja.
Namun kenyataannya sistem nilai yang dibangun seringkali hanya berhenti sampai di atas kertas yang dibingkai, tapi tidak sampai pada perilaku manusianya.
Pada hakikatnya, bekerja dapat dipandang dari berbagai perspektif seperti bekerja merupakan bentuk ibadah, cara manusia mengaktualisasikan dirinya, bentuk nyata dari nilai-nilai, dan sebagai keyakinan yang dianutnya. Semua pandangan itu dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian tujuan organisasi dan individu. Oleh karena itu setiap karyawan dan manajemen seharusnya memiliki sudut pandang atau pemahaman yang sama tentang makna budaya kerja dan batasan bekerja.
Budaya kerja dalam organisasi seperti di perusahaan diaktualisasikan sangat beragam. Bisa dalam bentuk dedikasi/loyalitas, tanggung jawab, kerjasama, kedisiplinan, kejujuran, ketekunan, semangat, mutu kerja, keadilan, dan integritas kepribadian. Semua bentuk aktualisasi budaya kerja itu sebenarnya bermakna komitmen. Ada suatu tindakan, dedikasi, dan kesetiaan seseorang pada janji yang telah dinyatakannya untuk memenuhi tujuan organisasi dan individunya.
Bentuk komitmen karyawan bisa diujudkan antara lain dalam beberapa hal sebagai berikut.
- Komitmen dalam mencapai visi,misi, dan tujuan organisasi.
- Komitmen dalam melaksanakan pekerjaan sesuai dengan prosedur kerja standar organisasi.
- Komitmen dalam mengembangkan mutu sumber daya manusia dan mutu produk.
- Komitmen dalam mengembangkan kebersamaan tim kerja secara efektif dan efisien.
- Komitmen untuk berdedikasi pada organisasi secara kritis dan rasional.
Pada dasarnya melaksanakan komitmen sama saja maknanya dengan menjalankan kewajiban, tanggung jawab, dan janji yang membatasi kebebasan seseorang untuk melakukan sesuatu. Jadi karena sudah punya komitmen, maka dia harus mendahulukan apa yang sudah dijanjikan buat organisasinya ketimbang untuk hanya kepentingan dirinya. Di sisi lain komitmen berarti adanya ketaat-asasan seseorang dalam bertindak sejalan dengan jani-janjinya. Semakin tinggi derajad komitmen karyawan semakin tinggi pula kinerja yang dicapainya. Namun dalam prakteknya tidak semua karyawan melaksanakan komitmen seutuhnya. Ada komitmen yang sangat tinggi dan ada yang sangat rendah. Faktor-faktor yang mempengaruhi derajat komitmen adalah faktor intrinsik dan ekstrinsik karyawan bersangkutan.
Faktor-faktor intrinsik karyawan dapat meliputi aspek-aspek kondisi sosial ekonomi keluarga karyawan, usia, pendidikan, pengalaman kerja, kestabilan kepribadian, dan gender. Sementara faktor-ekstrinsik yang dapat mendorong terjadinya derajad komitmen tertentu antara lain adalah keteladanan pihak manajemen khususnya manajemen puncak dalam berkomitmen diberbagai aspek organisasi. Selain itu juga dipengaruhi faktor-faktor manajemen rekrutmen dan seleksi karyawan, pelatihan dan pengembangan, manajemen kompensasi, manajemen kinerja, manajemen karir, dan fungsi kontrol atasan dan sesama rekan kerja. Faktor ekstrinsik di luar organisasi antara lain aspek-aspek budaya, kondisi perekonomian makro, kesempatan kerja, dan persaingan kompensasi.
Menegakkan komitmen berarti mengatualisasikan budaya kerja secara total. Kalau sebagian dari karyawan ternyata berkomitmen rendah berarti ada gangguan terhadap budaya. Karena itu sosialisasi dan internalisasi budaya kerja sejak karyawan masuk ke perusahaan seharusnya menjadi program utama. Selain itu pengembangan sumber daya manusia, karyawan utamanya yang menyangkut kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial harus menjadi prioritas disamping ketrampilan teknis. Dukungan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia lainnya tidak boleh diabaikan. Kalau tidak diprogramkan secara terencana, maka pengingkaran pada komitmen sama saja memperlihatkan adanya kekeroposan suatu organisasi.
Penurunan kredibilitas atau kepercayaan terhadap karyawan pada gilirannya akan mengakibatkan hancurnya kredibilitas perusahaan itu sendiri. Dan ini akan memperkecil derajat loyalitas pelanggan dan mitra bisnis kepada perusahaan tersebut.